CERPEN PERJUANGAN

PELANGI DI BAWAH DESIR ANGIN SAHARA

Oleh: Hary Stiawan, dari SMAN 4 PPU, Kalimantan Timur.

          Arya Yensei! Aku maju tergesa-gesa, mengambil jatah makananku. Kubawa makanan itu secara hati-hati dan kemudian aku duduk di kursi dekat jendela. Aku selalu merasa tenang, saat angin merembes melewati jeruji jendela dan menerpa wajahku. Di tempat kelam ini, penjara тюрьмыада (penjara neraka), tempat di mana keadilan manusia di laksanakan, kadang kau bisa menemukan kebahagiaan dan ketenangan batin walau hanya dari sebutir nasi.

          Aku menekuni makananku. Kuhabiskan suap demi suap. Menikmati makanan adalah salah satu rasa syukur pada Allah yang paling aku suka. Betapa murah hatinya Ia yang telah memberi kita lidah dan rasa lapar sehingga kita bisa menikmati setiap jengkal rasa dalam makanan dan minuman untuk memuaskan rasa lapar kita. Sungguh Allah Maha Pemberi lagi Maha Mengetahui.

          Seusai makan dan berdoa, aku tetap duduk di sini, menghabiskan waktu yang tersisa dari waktu makan siangku. Menatap jauh, melewati jeruji-jeruji besi jendela yang sudah berkarat, terus melintasi ruang demi ruang, wilayah demi wilayah, melewati samudra, lalu renungku sampai di sebuah rumah lusuh yang bertengger di sebuah bukit kecil. Aku dapat melihat dengan jelas di kepalaku setiap detail rumah tersebut dan lingkungan di sekitarnya. Di depan rumah terdapat sebuah pohon apel merah yang rindang, dibawahnya terhampar rumput alami layaknya permadani yang empuk dan nyaman jika digunakan untuk sekedar melepas lelah dan ingin beristirahat. Atap rumah yang dibuat dari kayu pinus yang ditutupi daun rumbia; dindingnya yang tersusun rapat dari batuan alam yang terkesan kokoh dan bila tersentuh akan terasa dingin di kulit; jendelanya yang lebar, tanpa jeruji dan bingkai jendelanya yang berukirkan lafadz Allah SWT.. dan ukiran kaligrafi arab lainnya; pintunya yang tebal, terbuat dari kayu mahoni, berukirkan kisah perjuangan Nabi Nuh yang mengarungi Samudra buatan Allah SWT. dengan bahteranya, saat bumi ditenggelamkan oleh-Nya. Permukaan pintu dan jendelanya yang mulus mengkilat karena sering digosok dengan minyak, gagang pintunya yang sederhana dari tali tambang yang diikatkan sekadarnya ke permukaan pintu, dan lantai rumahnya yang datar merata dilapisi oleh tanah yang diatur sedemikian rupa sehingga empuk dan bisa digunakan untuk tiduran tanpa menggunakan alas. Oh, itulah rumahku. Nun jauh di daerah perbukitan Swedia. Tempatku tinggal bersama ibuku, seorang perempuan Palestina yang tangguh.

          Aku selalu ingat pesan ibu untuk selalu menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya. Karena kebersihan adalah sebagian dari iman. Siapa yang tidak menjaga kebersihan maka imannya tidak sempurna, dan barangsiapa yang imannya tidak sempurna niscaya api neraka akan terhidang baginya. Ibu, aku merindukanmu. Aku merindukan tawamu, senyummu, nasihatmu, caramu menyisiri rambutku, caramu mengajari aku memasak, caramu membuka jendela saat pagi menjelang, caramu mengaji saat siang pun datang, caramu menenun kain seraya bibirmu tak henti-hentinya membaca istigfhar dan shalawat saat malam tiba, dan caramu menatap aku dengan kasih saat kau melepasku untuk dibawa lelap dan dikurung oleh mimpi.Aku hampir menangis. Tapi tidak ada perempuan Palestina yang menangis karena hal sepele seperti ini. Ada rindu yang lebih besar dari pada rindu kepada seseorang, yaitu rindu pada Allah SWT. ibuku selalu bilang begitu.

          Aku terpenjara di sini, karena memegang amanah ibuku. Untuk selalu menebarkan agama Allah SWT. yang penuh cahaya dan kelembutan. Tak peduli berapa besar resikonya. Aku seorang wanita, tapi apakah wanita tak boleh menebarkan kebenaran? Apakah wanita tidak diperkenankan untuk menyebarkan bibit-bibit keislaman? Apakah wanita tidak diizinkan memberitahukan bahwa agama Islam itu adalah agama Allah dan yang menentangnya akan menyantap api neraka? Apakah hal itu dilarang? Tidak! Demi Allah SWT. itu tidak benar! Selama tidak bertentangan dengan hukum-Nya dan tidak melanggar firman-Nya maupun sunnah Rasulullah SAW. maka semua hal itu halal hukumnya. Ridha untuk dipikirkan. Dan mendapat berkah jika dilakukan.

          Aku seorang pejuang HAM. Seorang pejuang gender. Seorang yang tak rela bahwa hak-hak kaum perempuan yan telah diberikan oleh Allah SWT. melalui firman-Nya dan Hadis Rasullullah SAW di injak-injak layaknya kotoran anjing oleh para pemimpin yang tak bermoral dan hidup berdasarkan zionis Israel-Yahudi serta imperialisme kebejatan barat. Aku memperjuangkan itu semua demi Allah SWT. dan disertai oleh doa dan harap ibuku. Saat para manusia yang telah dibutakan setan itu menuduhku bahwa aku berusaha menghancurkan, menghina dan menginjak-injak martabat mereka dengan meminta kesetaraan gender antara kaum lelaki dan perempuan, mereka menyebutku dalang kehancuran yang akan mengganggu keseimbangan yang telah lama mereka nikmati. Aku pun kembali bertanya-tanya, hak apakah yang aku tuntut dan perjuangkan yang bisa menyinggung mereka apalagi melukai harga diri mereka di hadapan Allah SWT.? aku tak pernah meminta agar kaum wanita bisa menjadi presiden, aku tak pernah menuntut agar kaum wanita bisa menjadi tentara, aku tak pernah meminta agar kaum wanita bisa mengimami solat kaum pria, aku tak pernah meminta agar kaum wanita bisa memilih pasangan hidupnya yang juga wanita, aku tak pernah meminta agar kaum wanita bisa berpakaian seperti kaum pria, aku tak pernah meminta agar kaum wanita bisa membuka aurat semau mereka di hadapan kaum pria, dan pastinya aku tak pernah meminta agar kaum wanita menyembah selain kepada Allah SWT.layaknya sebagian kaum pria lainnya.

          Aku hanya meminta agar kaum pria bisa menghormati dan mengasihi kaum wanita serta menjaga hak-hak dan melaksanakan kewajiban terhadap mereka seperti yang di perintahkan Allah SWT. dalam firman-Nya dan Hadis Rasulullah SAW, baik sebagai neneknya, ibunya, istrinya, sahabatnya, temannya, rekan kerjanya, sesama anggota sebuah organisasi, sesama panitia atau anggota sebuah kegiatan, maupun jika hanya bertemu sekilas di suatu tempat. Aku tak pernah menuntut lebih, karena takut azab Allah dan karena selalu aku mengingat pesan ibuku. Di suatu kesempatan, setelah hujan mengguyur rumah kami yang sederhana, sambil menyisiri rambut panjangku di bawah rindangnya pohon apel, dia berkata

     “Arya, anakku…”

     “Iya ibu. Kenapa?” Tanyaku.

     “Kamu kok kelihatannya sedih sekali?” Ibuku malah balik bertanya.

     “Iya bu. Aku sedang di rundung nestapa dalam kegelisahan dan kebingungan yang tiada akhirnya.”

     “Oh iya? Memang ada masalah apa yang mengganjal hatimu anakku?”

     “Mmmm…aku selalu bertanya-tanya ibu, mengapa Allah SWT. menciptakan orang-orang yang berbeda untuk hidup di dunia ini. Ada yang miskin, ada yang kaya, ada yang tampan, ada yang jelek, ada yang cerdas, ada yang bodohnya minta ampun sampai tidak bisa membedakan huruf f dan v, ada yang budiman dan dermawan, ada yang bertingkah layaknya setan. Bukaannya itu tidak adil bu? Sedangkan Allah SWT. itu Maha Adil dalam segala hal?”

          Seperti biasanya, saat ibuku akan menjawab pertanyaan dariku, apapun bentuk pertanyaan itu, sambil tersenyum, beliau akan diam sejenak, menatap jauh ke depan, merasakan tiap desir angin yang menerpa wajahnya, mengumpulkan setiap kearifan yang bersemayam dalam jiwa dan pikirannya, lalu menjawab pertanyaanku dengan persepsi dan metodenya sendiri. Sambil menunjuk ke arah barat, ia bertanya padaku.

     “Arya apa kamu bisa melihat dengan jelas радуга(pelangi) yang ada di ufuk barat langit sana?” Tunjuk ibuku.

     “Bisa ibu. Memang kenapa?” Tanyaku heran.

     “Bisa kau sebutkan satu persatu warna-warna yang menghiasi pelangi ciptaan Tuhan itu, kasihku?” Pinta ibuku.

     “Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ibu? Memangnya kenapa sih bu?” Tanyaku.

     “Menurut kamu apa yang membuat pelangi itu terlihat indah dan begitu mempesona?”

     “Ya..mmm pertama bentuknya bu, seperti jembatan menuju surga. Lalu latar belakangnya, langit indah yang cerah. Tapi yang membuatnya kelihatan sangat indah yaitu karena warnanya bu. Warna-warni, menarik sekali.” Jawabku mantap.

     “Nah demikian juga dengan manusia dan makhluk hidup lainnya, anakku. Allah menciptakan keberagaman untuk memberi warna dan sentuhan seni yang tiada duanya pada kehidupan sesaat di bumi ini. Coba bayangkan jika Allah menciptakan semua manusia itu bentuknya sama. Misal seperti kamu. Mana tahan ibu menjalani hidup jika semua manusia yang ibu temui bandel dan cerewetnya seperti kamu. Aduh bisa jatuh pingsan ibu.” Ibu mengacak-acak rambutku.

     “Ihh ibu bisa aja!” Ujarku sambil memegangi kepalaku.

     “Allah sudah berbuat adil. Bahkan lebih teramat adil dari semua keadilan yang manusia bisa ciptakan. Allah juga menciptakan keberagaman pada hewan, tumbuhan, dan juga alam semesta yang kita tempati. Selain perbedaan, untuk menciptakan keserasian, Allah SWT. juga memberi kelebihan dan juga kekurangan pada semua makhluknya. Contohnya, burung diberi kemampuan terbang dengan sayapnya, tapi sebagai gantinya burung tidak memiliki tangan seperti monyet. Nah monyet di beri kemampuan untuk berjalan di daratan tapi tak bisa terbang seperti burung kan? Jadi jangan pernah meragukan keputusan Allah SWT.  karena Dia adalah Tuhan kita. Yang menciptakan kita dan memberi kenikmatan hidup pada kita. Kamu ini perempuan, yang akan hidup bagai bidadari surga bagi anakmu kelak. Ingatlah untuk selalu bersyukur dan berbuat kebaikan karenanya. Seperti firman Allah dalam surah Ar-Rahman Ayat 57-60 ‘Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Seakan-akan bidadari itu seperti permata Yajut dan Marjan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.’ Jadi selalu hormati kenikmatan yang di berikan Allah. Keseimbangan di dunia ini sudah diatur oleh-Nya, tiada hal yang lepas dari pengawasannya. Karena sesungguhnya hanya Dia lah yang Maha Sempurna lagi Maha Mengetahui.” Jelas ibuku panjang lebar.

          Aku hanya tersenyum. Satu hal yang sangat sering kulakukan belakangan ini, tersenyum dan tertawa. Karena hanya dua hal itulah yang dapat kulakukan untuk menanggungkan rasa sakit dan perih akan siksaan demi siksaan di penjara ini. Harga yang harus kubayar demi perjuanganku. Harga dari keimanan terhadap Allah SWT.

          Lalu kudengar hentakan langkah kaki yang mendekat, lalu… Brakk! Piring makan dan gelas minumku terbang berhamburan.

     “Arya Yensei! Waktu makanmu sudah habis! Ayo kembali ke selmu! проклятаясука!(Dasar Pelacur!)” Bentak sipir yang menggebrak meja makanku.

          Aku hanya diam membisu dan melangkahkan kakiku langsung ke selku. Aku sudah cukup mempelajari kondisi psikologis para sipir di penjara ini. Dari mereka aku mendapat setitik ilmu Allah SWT.di berbagai pelosok penjara ini. Ilmu tentang bagaimana mengetahui perasaan dan tingkat temperamen seseorang. Bagaimana memancingnya, meredamnya, bahkan memanipulasinya demi kepentinganku. Contohnya sipir penjara tadi,namanya Tifa Ivancov. Lagaknya saja garang dan memaki-maki aku. Tapi sebenarnya dia orang yang halus dan dapat aku andalkan. Hanya saja harus di waktu dan di kesempatan yang tepat.Sekarang mungkin dia sedang dalam ‘bad mood’ karena masalah internal dalam kehidupannya. Mungkin karena gaji bulanannya lambat ia terima sehingga menimbulkan goncangan pada kehidupan kesehariannya. Dari yang kudengar setelah menjalin hubungan dengan beberapa orang penting di penjara ini (menurut versiku sendiri yaitu tukang pel, petugas kantin, sipir-sipir yang lainnya, dan beberapa tahanan lainnya), Tifa bekerja sebagai sipir karena kehabisan ide untuk menghidupi keluarganya. Suaminya cacat permanen dengan kaki buntung diamputasi akibat terinjak ranjau saat perang dingin antara Uni Soviet dan U.S.A masih berlangsung. Jadilah dia penopang kehidupan suaminya dan 3 anak yang mereka miliki yaitu Ane, Yune, dan Qeni. Benar-benar perempuan yang tangguh. Aku salut sekali padanya.

          Sesampainya di selku, setelah Tifa mengunci kembali pintu selku dan kembali pada sifatnya yang lembut dengan mengucapkan selamat tinggal padaku, akhirnya kembali kurasakan kegelapan dan rasa dingin yang menyelimuti sel bawah tanahku ini, setelah beberapa menit kurasakan sinar mentari yang hangat menebar di kulitku. Di sel ukuran 3×5 meter ini, berada di kedalaman 20 meter di bawah tanah, tanpa jendela, tak berlampu, dan lantai yang keras berbatu, aku menangis kembali untuk kesekian kalinya dalam hidupku, lupa akan semua ketegaran dan semangat dalam diriku, kembali dalam bentuk hamba Allah yang lemah yang bisa menangis karena cobaan-Nya. Suhu udara mulai menurun drastis, aku kedinginan. Di atas sana pasti sedang hujan. Hanya itu dan salju yang merupakan penyebab turunnya temperatur di selku ini. Langit pun ikut menangis bersamaku.

          Lalu… Tes…tes…tes…

          Bunyi rintik air yang turun silih berganti. Setetes demi setetes. Terus turun dari langit-langit di atas kepalaku. Air hujannya merembes kemari. Bunyi tetesannya, membuat sebuah irama statis, sebuah simfoni datar yang menjadi lagu penghibur di tempat aku mendekam kini, tempat aku menata hidupku, dalam fitnah dan dengki. Tempat aku dikucilkan, sebagai pihak minoritas. Tempat aku dipersalahkan, sebagai pihak yang benar. Tempat aku dibuang, sebagai pihak yang tak berguna. Tempat aku dijatuhkan hukuman, tempat pengadilan manusia dalam hina dan dina. Tempat aku menanggung malu, malu pada Allah SWT. karena merasa putus asa akan cobaan-Nya, malu pada ibuku karena tak dapat menahan tangis menghadapi permasalahan yang ‘sepele’ ini. Ibuku yang asli Palestina pasti akan geleng-geleng kepala melihat keadaanku yang seperti ini. Beliau pasti akan menasehatiku. Kuingat nasihat ibuku, dulu sekali ketika aku masih gadis kecil, saat aku menangis karena kucing kesayanganku meninggal karena sakit.

     “Janganlah engkau menangis karena hanya kiamat sugra itu anakku. Kematian termasuk kiamat kecil yang akan dihadapi oleh setiap insan manusia yang memiliki ruh. Nabi dan Rasul saja meninggal, apalagi kita yang manusia biasa. Janganlah engkau bersedih karena cobaan seperti ini sayangku dan jangan pernah engkau bersedih karena cobaan apapun apalagi sampai menyalahkan Allah SWT. karena semua ini adalah takdir Ciptaan-Nya. Contohlah sikap para nabi dan rasul di masa lalu. Nabi Adam As. tak menyalahkan Allah SWT. saat anaknya Qabil membunuh Habil, Nabi Nuh As. tak menyerah walau dakwahnya selama 900 Tahun tidak di terima masyarakat luas, hanya sebagian kecil saja, lalu Nabi Ibrahim As. tidak bersedih hati dan tetap tawakal saat ayahnya sendiri tak mau menerima kebenaran Allah SWT.dan nabi Yahya tak gentar menyuarakan ketidaksetujuannya saat melihat kemungkaran walau dia akan mati dipancung, serta contohlah suri teladan terbaik kita yaitu Rasulullah Saw. Karena beliau tak pernah menyerah, tak pernah berputus asa apalagi menyalahkan Allah SWT.akan semua cobaan yang beliau terima. Karena kita ini datangnya dari Allah dan suatu saat, cepat atau lambat, kita semua akan kembali pada-Nya.” Jelas ibuku panjang lebar.

          Tapi entah mengapa aku tetap menangis. Dalam tangisku aku mengingat kembali saat penangkapanku. Saat itu aku sedang berpidato di depan gedung Hak Asasi Manusia di kota Jenewa,Swedia bersama dengan kawan-kawanku yang lainnya. Lalu saat aku sedang semangatnya dalam berorasi, datang sekelompok orang-orang pemerintahan. Tanpa basa-basi mereka menerobos kerumunan orang yang sedang mendengarkan pidatoku, menuju ke arahku. Di depan orang banyak mereka langsung menangkapku tanpa berkata apa-apa. Aku memberontak dan berteriak-teriak karena merasa ini semua salah paham. Lalu salah satu dari orang-orang itu membentakku.

     “heh глупый(bodoh)! Kau itu di tangkap karena isi pidatomu tentang HAM yang menentang kebijakan pemerintah! Kritik-kritik pedasmu itu seakan-akan merendahkan kehormatan pemerintahan, makanya kau adalah ancaman bagi pemerintahan dan harus di tindak. Sekarang kau akan dipenjara!” Jelasnya.

          Mendengar hal itu, aku kembali berontak dan berteriak-teriak menolak untuk dibawa pergi. Aku teriakkan kalimat-kalimat suci Al-Qur’an, menyuarakan kebebasan dan hukum Allah SWT. kerumunan massa yang menonton pidatoku serta kawan-kawanku yang lainnya mulai bertindak untuk menyelamatkanku. Mereka mulai menyerang para petugas pemerintahan itu. Kerusuhan pun terjadi Lalu terjadilah adu pukul, adu lempar, dan teriakan caci-maki yang membahana.Dalam kerusuhan itu aku berusaha melepaskan diri dari pegangan salah satu petugas, dan saat berhasil lepas sehingga aku bisa lari, bruk…seseorang memukul tengkukku dan aku tak sadarkan diri. Saat terbangun aku sudah berakhir di penjara ini, terlentang tak kuasa berdiri. Dalam keadaan aurat daerah kepalaku terbuka, jilbabku sudah tak ada dan aku merasa lebih terhina karena mengetahui pakaianku sudah berganti, yang artinya auratku telah di buka tanpa sepengetahuanku, aku hanya bisa pasrah karena semua hal itu sudah terjadi, pasrah, tapi tetap tidak menyerah.

          Di тюрьмыада(penjaraneraka) ini, aku mengalami siksaan lahir dan batin. Aku hanya bisa merasakan angin dan sinar mentari pada waktu makan, itupun hanya sehari sekali. Selebihnya aku hanya menetap di kekelaman selku ini. Pertama kali datang, saat mendapat jatah mandi yang hanya seminggu sekali, di pemandian umum penjara khusus wanita, oleh sesama tahanan perempuan aku dipaksa untuk melakukan perbuatan kaum Nabi Luth as. sebagai Lesbian. Terang saja aku memberontak, dan melakukan perlawanan. Tapi jumlah mereka terlalu banyak, dan mereka yang memang residivis penjara bertenaga sangat kuat, mereka pun berhasil membuatku tidak berkutik. Tapi tiada kata pasrah dalam diriku, ibuku adalah perempuan Palestina yang tegar, lebih tegar dari karang, mereka sudah sering tertindas, teraniaya, dan terzalimi, tapi tidak ada penyesalan, mereka terus berjuang. Darah Palestina mengalir dalam diriku, aku tak akan menyerah. Karena tangan dan kakiku tak bisa bergerak, kuludahi perempuan yang ingin menciumku lalu aku gigit telinganya sampai berdarah. Sambil memegangi telinganya yang mengucurkan darah, ia mengelap air liurku dari wajahnya lalu dengan raut wajah memerah karena marah sambil meraung ia menonjok ulu hatiku. Mataku langsung berkunang-kunang, lalu ia menampar wajahku keras sekali. Darah bercucuran dari sudut bibirku. Aku pun pingsan. Saat terbangun, dengan tubuh memar-memar da berlumur darah, aku sudah tergeletak tak bedaya di lantai sel bawah tanahku.

          Lalu saat kira-kira 3 minggu sudah aku ditahan, sipir penjara Tifa Ivancov membawaku ke atap penjara. Langit biru dengan gumpalan awan selembut kapas terhampar di atas kepalaku. Semilir angin sendu menggerai rambutku, membuatnya berkibar, melayang bebas. Untuk sejenak aku memejamkan mataku. Menikmati desahan angin dan hangat cahaya mentari di sekujur tubuhku. Lalu saat aku membuka mata, seseorang dengan pakaian rapi berjas, mendekatiku.

     “Arya, senang bertemu denganmu. Perkenalkan namaku Kane Greiskova Bagaimana kabarmu? Kau pasti sangat tersiksa ya? Oh gadis malang.” Ucapnya penuh perhatian.

          Aku tak tertipu. Walaupun pakaiannya rapi dan kata-katanya manis seperti gula, orang inilah iblis sebenarnya. Ia lebih kejam dari orang-orang yang menangkapku waktu itu dan pastinya lebih sadis dari para tahanan wanita yang memperkosaku.

     “Arya, kalau kau merasa tersiksa, aku punya tawaran untuk dapat membuatmu kembali bebas. Nah kita to the point saja, ambilah surat ini! Tanda tangani surat itu, dan hari ini juga kau bisa merasakan kembali menjadi orang bebas” Tawarnya.

          Aku membaca isi surat itu. Dan isinya membuatku terperanjat. Di sini dikatakan bahwa aku harus mencabut semua pernyataanku tentang kejamnya pemerintah terhadap HAM kaum perempuan; mau mengakui bahwa selama aku dipenjara pemerintah, memberiku perawatan yang baik yaitu makan 3 kali sehari, sandang dan kesehatan terjamin, dan juga fasilitas lainnya; namun yang paling membuatku merasa amat marah ialah bahwa aku harus mau pindah agama dan menikah dengan anak salah seorang pejabat yang beragama lain denganku. Dengan keras aku menolak isi surat itu, kukatakan padanya bahwa aku lebih baik mati dan terbakar dalam api dunia dari pada melakukan semua hal di surat itu. Aku takkan mencabut kebenaran Allah SWT. yang telah kulontarkan pada pemerintahan dan aku takkan berbohong tentang perlakuan pemerintahan padaku di penjara ini. Serta aku takkan pernah pindah agama. Islam adalah agama sejati yang telah diturunkan Allah SWT. ke dunia ini, dan bagiku takkan pernah tergantikan oleh agama apapun. Aku pun langsung merobek-robek surat tersebut Ia hanya tersenyum.

     “Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Kau bilang kau lebih baik mati kan? Tenang tak lama lagi hal itu akan terjadi, kau akan dihukum pancung dan aku akan menjadi orang pertama yang tertawa melihat kepalamu menggelinding-gelinding seperti buah semangka. sekarang kamu harus membayar harga atas kesombonganmu dasar anak anjing!” Bentaknya.

          Ia mengikat tangan dan kakiku pada seutas tali. Dengan posisiku yang menyilang seperti orang disalib, setelah melepas jasnya, ia mencambukku. Tifa mencoba menghentikannya tapi Kane mengeluarkan pistolnya dan menembak bahu Tifa. Tifa pun roboh. Aku berteriak-teriak agar dia tidak menyakiti Tifa, tapi Greiskova langsung mencambukiku lagi. Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat agar tak menggigit lidahku sendiri. Tapi akhirnya aku meneriakkan Allah Akbar! Allah Akbar! Lailaha Ilallah! Muhammad Rasulullah!, mencoba menahan rasa sakit dan memberi semangat pada diriku sendiri. Akhirnya Kane selesai, dan menyuruh petugas sipir lainnya untuk membawaku kembali ke selku dan membawa Tifa ke ruang perawatan. Dalam selku menjelang eksekusiku, aku mengingat kata-kata ibuku sebelum dia menghadap Ilahi karena sakit, terkena penyakit Leukimia yang menggerogoti tubuhnya. Saat aku menangis tersedu-sedu di sisinya, ia hanya memegang pipiku dan berkata.

     “Kematian adalah sebuah akhir dunia. Tapi bukan akhir kehidupan yang kekal dan abadi. Kita ini manusia biasa Arya, tapi cobalah untuk menjadi luar biasa tapi tak pernah sombong karenanya. Selalu ada harapan bahkan di kegelapan sekalipun. Saat akhir kehidupan tiba, katakanlah ‘tiada rasa sedih, tiada penyesalan’ itulah jalan yang harus kau ambil nak… ibu mencintaimu…La Ilahaillaha!” Ibuku pun menghembuskan nafas terakhirnya.

          Lalu Tifa membuka pintu penjaraku dan membawaku ketempat tiang pancung. Bahunya dibalut perban. Dia kelihatan pucat sekali.

     “Tifaничеговы не делаете ? (kau tidak apa-apa?)” Tanyaku khawatir.

     “Aku baik-baik saja Arya. Kenapa kau harus mengkhawatirkan aku? Sebentar lagi kau akan mati Arya. Apa kau tak merasa takut?” Tanyanya.

     “Kematian akan tetap datang dimanapun kita berada. Tidak ada gunanya bersikap lemah dan takut akan kematian.”Jawabku tenang.

          Saat aku tiba di lapangan tempat pemancungan, terlihat beberapa orang di podium yang akan menyaksikan pemancunganku. Kane Greiskova ada di sana. Ia hanya tersenyum sinis melihatku. Kemudian, sebelum pemancungan dimulai, Kane membacakan dakwaan terhadapku.

     “Arya Yensei Al-Reyula. Kau didakwa melakukan penghinaan terhadap Negara dan konstitusi bangsa. Untuk itu kau dihukum mati tanpa ada kesempatan untuk membela diri.Apa kau punya kata-kata terakhir?”

          Aku hanya tersenyum.

     “Kematian adalah satu. Hukum Allah SWT. Yang tak bisa disangkal atau diganggu gugat. Aku tak takut akan kematian dan aku tak menyesal atas apapun yang aku lakukan karena itu semua adalah kebenaran. Jika aku harus mati, biarkan aku mati dengan posisi yang aku kehendaki dan dengan tiada penutup yang menghalangi pandanganku. Hanya itu permintaanku.” Tegasku.

          Kane hanya tertawa. Ia mengabulkan apa yang aku inginkan. Aku kemudian digiring ke tempat pemancungan. Aku merebahkan diriku telentang menghadap ke langit. Algojo mulai mendekatiku. Aku meletakkan tanganku diatas dadaku, merasakan denyut jantungku. Algojo menyiapkan pedangnya. Kane mulai menghitung mundur.

     “SATU!”

          Aku mengingat kembali pelajaran berharga yang diberikan ibuku tentang jantung manusia.

     “Jantung manusia tak ubahnya baterai pada mesin elektronik. Baterai perlu di-charge agar bisa berfungsi, jantung juga perlu diberi asupan gizi agar bisa berfungsi, baterai perlu dirawat agar kualitasnya memadai sama juga dengan jantung yang perlu di rawat dan dijaga agar baik kondisinya…..”

     “DUA!”

     “…..Allah menciptakan jantung yang berdenyut-denyut di dada kita dan itu merupakan bukti kebesaran Allah yang paling dekat dengan kita. Setiap hari dia berdenyut, memompa kehidupan setetes demi setetes, membuat kita bisa merasakan nikmatnya berjalan di dunia ini. Untuk itulah sayangi jantung kita, karena itu adalah separuh dari nyawa kita. Allah Maha Memberi lagi Maha Mengetahui.”

     “TIGA! MATI KAU YENSEI!”

          Aku menatap kilauan pedang yang meluncur ke leherku bagai kunang-kunang di siang hari. Cahaya matahari terasa lebih menyilaukan, pelangi bertebaran, angin terasa lebih mendesir, lebih hangat bagai desir angin padang sahara, dan aku mulai tersenyum. Ibu… aku menyusulmu ibu…. ya Allah…Aku berpulang padamu.

Selesai pada pukul 01.21 dini hari WITA.

Babulu Darat, 28 Oktober 2012.

Leave a comment